~

Terimakasih telah berkunjung dan mellihat blog saya, MELIHAT silakan, MENCARI INSPIRASI juga boleh, COPAS? emm.. saya percaya anda bukan PLAGIAT ! jadi tolong untuk tidak mencuri karya orang lain :)

Rabu, 06 Juli 2011

Hanya Milik Engkau

begitu jauh langkah kaki,
menapak hidup penuh duri,
diujung jalan tak bertepi,
tertatih-tatih meraih mimpi..

dihamparan kain yang lusuh,
jiwa tertunduk dan bersimpuh,
memohon ampun,
dari yang maha pengampun,
atas segala dosa-dosa,
yang mencemari raga,
yang semakin renta...

air mata derita,
dihujam berbagai dilema,
telah membawa diri lupa padanya,
lupa... keberadaannya,
lupa... segala yang kita punya,
adalah milik kuasanya...

Sahabat Itu Ada :)

yakinkan aku dalam kebimbangan malam
tegakkan aku dalam rapuhnya dunia..
hindari aku dari kerasnya fatamorgana..
meski hidupku sedang menangis..

sebuah cita penuh harapan..
kau berikan aku sebuah arti hidup
meski hidupku tak berarti lagi..

kau coba sebarkan salju dipadang pasir..
kau terus-menerus membuat mentari tesenyum
untuk menyinari hariku..
walau langkahmu terseok-seok..
kau bantu aku mencari emas
dalam samudra kehidupan..

BERHARAP JADI NYATA :)

aku masih dini untuk menyalamimu
hingga tiada ku mengerti makna yang tersirat disudut wajahmu
aku tak ingin berandai
lalu terjerembab pada jurang yang menganga
karena aku tak ingin salah.

jikalau kau merasa,
kata mampu mewakili setiap yang pernah diciptakan oleh musim,
izinkan aku menjadi risalah yang dibawa angin
untuk menjadi kalbu semesta,
atau menjadi hujan yang paling teduh bagi perkampungan,
juga pula menjadi kemarau yang menggugurkan daun ke pangkuanmu.

tapi aku sadar bahwa kita bagaikan air dan api,
yang tidak akan bisa bertemu disaat yang bersamaan.

PERCAKAPAN ORANG SOK PUITIS :D

S.A     : tersenyumlah walau hatimu terluka, karena tanpa kamu sadari ada seseorang yang bahagia melihatmu tersenyum..

M.O.P : tersenyum diwajah, menangis dihati, munafikkah aku yang tak sadar bahwa kebahagiaan ada sidepan mata?

S.A     : tak perlulah menangis didalam hati lagi karena ada aku yang bisa kau jadikan sandaran saat kau menangis :) lalu, bukalah hatimu untuk bahagia yang sudah ada didepan mata ..

M.O.P : jika aku menutup mata dan tak dapat melihat kau disekelilingku, apa yang harus aku lakukan? apa aku harus tetap menyunggingkan bibir ku yang tipis disaat semua gelap?

S.A      : jika kau tak dapat melihatku disaat gelap, ingatlah tuhan, tuhan selalu bersamamu, tuhan akan selalu membimbingmu dan menemanimu..

M.O.P : yah, kini aku tersadar karena untaian kalimatmu kawan :) dan aku sadar bahwa tuhan ku lebih dekat dari pada urat nadi ku sendiri..

S.A     : baguslah engkau mengerti.. aku hanya manusia biasa yang ditakdirkan untuk menjadi sahabatmu :) ingatlah  tuhan selalu ada dimana pun kita berada :D




SALAM :
dua makhluk aneh tapi manis :)
03.12.2010

ordinary people :')

aku memang bukan siapa-siapa, bukan pendamping, bukan teman yg baik, bukan pula pemberi pengertian yg baik.

aku masih belom bisa menghargai waktu, masih tidak dapat melupakan kejadian lama, masih tidak bisa menciptakan sesuatu yg baru.

aku masih ga luput dari kesalahan, masih harus belajar menghargaimu siapapun kau, dan masih perlu beradaptasi.

aku salah karena berulang kali melakukan kesalahan, aku sedih dan takut, bukan sedih karna kesalahan besarku, tapi aku takut kehilanganmu.

aku hanya ingin kau selalu berada denganku, perbedaan bukanlah pembatas, kesalahanku membuat kau cemas tapi tau kah kau? aku lebih khawatir kehilanganmu, karena kau mulai berada penuh dihatiku.

karena kau, masa lalu ku lenyap dan karna kau, ku mulai buka semua kedepan walau harus dari nol.

sedihmu sedihku, amarahmu amarahku, bahagiamu bahagiaku :') tetaplah disini, dihatiku, walau raga takkan selamanya bersama.

Selasa, 05 Juli 2011

Puput, Ti Amore !!

Aku menatap lekat-lekat foto gadis berlesung pipit itu, Puput. Mataku seakan tak bisa lepas memandanginya. Sama seperti otakku yang tak pernah bisa menghapus memori tentangnya. Sama seperti hatiku yang tak pernah bisa berhenti memanggil namanya. Tiga tahun ini aku menganggap Puput sebagai masa lalu yang kini tak pernah tergapai, walaupun aku sangat mengharapkannya. Tiga tahun ini aku dan Puput dipisahkan oleh  tembok-tembok ruang dan waktu yang tak jelas batasannya. Tiga tahun ini aku tak pernah sekalipun menjenguk wajah purnamanya. Huh! slide-slide film otakku kembali memutar potongan-potongan kisah tiga tahun lalu.
* * *
“Aku nggak setuju Wi, kamu ikut balapan itu,” kata Puput ketus. Aku mendengus sebal. Ini yang ketiga kalinya Puput melarangku untuk ikut balapan bersama teman-temanku.
“Nggak Put, aku akan tetap ikut balapan itu! Sudah dua kali Put, aku menolak permintaan mereka untuk adu balap denganku. Mereka sudah sangat kecewa padaku.”
“Oh  begitu, kau lebih suka bila aku yang kecewa!” Nada bicara Puput mulai meninggi. Aku mencoba untuk sabar.
“Bukan begitu Put, ini cuma balapan biasa. Aku tak ingin teman-temanku kecewa. Aku pun juga tak ingin kau kecewa padaku, Put” Aku mencoba menyakinkan gadis yang  sangat kusayangi ini, tapi nampaknya Puput tetap pada keputusannya.
“Aku nggak suka Wi kamu ikut balapan. Aku nggak mau sesuatu terjadi padamu Wi. Aku nggak mau!” Aku memandang kilat di mata  Puput. Aku tahu gadis itu sangat mencintaiku.
“Aku akan baik-baik saja Put, sekali lagi kukatakan padamu ini cuma balapan biasa!”
“Nggak Wi! Aku nggak mau kamu ikut balapan itu.” Amarah Puput semakin menjadi-jadi.
“Ok, kalau begitu aku akan ikut kau balapan Wi.” Aku terkejut dengan perkataan Puput. Selama ini dia sangat penakut, bahkan sampai sekarang gadis pujaanku ini takut mengendarai sepeda motor sendiri.
“Nggak Put, kau jangan ikut balapan itu. Aku……” Aku tidak melanjutkan kalimatku
“Aku apa, Wi? Kau takut terjadi apa-apa padaku? Aku akan tetap ikut. Aku akan selalu bersamamu, Wi.” Aku hanya bisa pasrah dan mengijinkan Puput ikut balapan. Aku yakin kami akan baik-baik saja, seperti balapan yang sudah kuikuti sebelumnya.
Minggu pagi. Andes, Dendy, Rezon, dan beberapa teman mereka telah siap untuk bertempur dalam balapan motor ini. Sebenarnya jalan yang kami gunakan bukan arena balap, jalan ini hanya jalan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Di belakang, Puput memelukku dengan sangat erat. Aku memegang tangannya untuk menenangkan. Dingin! Tak pernah aku merasakan tangan Puput yang sedingin ini. Semua telah bersiap-siap dan memanasi mesin.
“Ok, Man. 1….2…..3……go!!”
Motor-motor pun dipacu dengan kecepatan tinggi. Asap-asap menari-nari bersama bising kendaraan yang memekakkan gendang telinga. Kurasakan Puput semakin erat memeluk tubuhku. Kupacu motor dengan kecepatan penuh. Dan sekarang aku telah berada di posisi terdepan. Aku memang terkenal sebagai jagoan balap di kalangan teman-temanku. Memang akulah yang paling hebat! Memang akulah juaranya!
“Brukk!!!”
Tiba-tiba sebuah mobil menyebrang jalan. Kecepatan yang tinggi membuatku tak bisa mengerem ataupun menghidari mobil hitam tersebut. Sepeda motorku oleng bersama tubuhku yang terpelanting jauh.  Sempat kurasakan darah merembesi keningku. Tiba-tiba  semua gelap. Aku tak sadarkan diri.
Entah bagaimana tapi aku sudah berada di rumah ketika membuka mata. Ibuku mengatakan kalau aku sudah terbaring di sini selama delapan hari.
“Puput! Mana Puput, Ma? Dia baik-baik saja kan?” Aku langsung teringat belahan jiwaku itu saat aku baru sadar dari koma.
“Tenanglah Wi, Puput akan baik-baik saja. Keluarganya telah membawanya ke rumah sakit di Jakarta untuk berobat.”
“Apa, Ma! Separah itukah keadaan Puput, Ma? Ini semua karena Dwi, Ma, harusnya Dwi nggak ikut balapan itu.”
“Tenanglah Wi, Puput akan baik-baik saja. Sekarang kamu istirahat saja,” kata Mama menenangkanku  sambil merapikan selimut dan meninggalkanku sendiri.
Aku sedih bukan main. Rasa bersalah menghimpit-himpit dan menyesakiku. Puput kau di mana? Maafkan aku Put. Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau harus berobat ke Jakarta? Seberapa parah lukamu? Ini semua karena aku tak mendengarkan kata-katamu. Kuraba kepalaku yang masih terbalut perban, perih. Tapi perih ini tak sebanding dengan perih dihatiku.
Satu bulan aku hidup dalam perasaan bersalah yang terus menghimpit nurani dan batinku. Siang malam aku hanya memikirkan Puput. Sebelum akhirnya datang surat tanpa alamat dari Puput.
Wi, kau tak perlu cemas. Aku baik-baik saja disini. Aku sekarang mengikuti ayahku yang bekerja di luar negeri. Berat memang untuk meninggalkanmu tanpa pamit. Tapi kukira inilah jalan yang terbaik untuk kita. Lupakan saja aku, Wi. Dan aku juga  akan mencoba melupakanmu, walau kutahu itu pasti akan sangat sulit.
Selamat tinggal Dwi
Puput

Aku kenal betul tulisan tangan Puput dan aku tahu surat itu memang darinya, tapi aku sama sekali tak kenal dengan Puput yang menulis surat itu. Puput tidak akan seperti itu, dia mencintaiku, dia tidak mungkin meninggalkanku semudah itu.
Kenapa kau meninggalkanku, Put? Kenapa kau ucapkan salam perpisahan? Kenapa kau suruh aku melupakanmu? Itu sungguh sangat mustahil bagiku, Put.
* * *
Dan majalah inilah yang kembali mengusik rasa cinta dan harapanku tentang Puput yang kupendam sejak tiga tahun lalu. Majalah yang ada di genggaman tanganku ini seakan mengobarkan api semangat dalam diriku untuk kembali menemui Puput. Sebuah artikel berjudul “Love and a honesty”. Aku takkan pernah mempersoalkan artikel ini jika nama penulisnya bukan Puput Annesa, Venesia (Italia).
Venesia! Puput sekarang berada di kota Venesia. Kenapa kau pergi sejauh itu, Put? Apakah aku harus menyusulmu ke sana? Haruskah aku menjadi lelaki pecinta yang mengejar gadis impiannya  ke ujung dunia? Venesia sangat jauh, Put. Bagaimana aku bisa menemukanmu di kota yang asing bagiku itu. Malam itu aku tak bisa tidur memikirkan Puput. Aku sudah terlanjur merindukannya, sangat merindukannya. Dan bila kau sekarang bertanya padaku tentang cinta, maka hanya ada satu nama, Puput.
Venesia!! Tiba-tiba aku ingat kalau Gibran, sahabat kecilku saat SMP itu sekarang tinggal di kota itu. Aku segera mencari alamat e-mail Gibran di buku tahunan SMP ku. Kunyalakan komputerku segera. Tiba-tiba saja muncul satu tekad dalam diriku. Aku harus menemukan Puput!!
Hi Bran, ini gw Dwi. Lo masih ingetkan sama gw, teman SMP lo. gimana kabar lo sekarang? Sudah berapa banyak gadis Venesia yang lo pikat hatinya?
Bran, gw perlu bantuan lo. Gue pengen berkunjung ke kota lo, Venesia. Gw akan mengejar cinta sejati gw kesana. Lo mau kan jadi pemandu gw. Please Bran, ini sangat penting buat gw.
Gw akan kesana saat liburan akhir semester ini. Thank’s before!
Kutekan tombol send pada layar. Gibranlah satu-satunya harapanku untuk bisa menemukan Puput. Sambil menuggu  balasan dari Gibran aku mencoba browser tentang kota Venesia. Satu jam kemudian baru datang e-mail balasan dari Gibran.
Hi sob, mana mungkin gue bisa ngelupain temen bolos gue pas SMP. Wah rupanya Dwi yang saat SMP dikenal playboy sudah berubah menjadi pecinta sejati. Dengan senang hati gue akan jadi pemandu lo di kota cantik ini. Gue tunggu kedatangan lo sob.
Aku bernapas lega. Venesia, Aku datang!
* * *
Langit biru berpadu dengan awan putih, angin dengan lembut membelai rambut  hitam dan kulit sawo matangku yang tampak mencolok dari orang-orang yang berlalu lalang. Dan hari ini adalah akhir penantianku selama dua bulan terakhir. Aku menginjakkan kakiku di bumi Venesia tepatnya di bandara Marcopolo. Ya,Venesia memang kota asal si pedagang dan musafir yang terkenal karena pengembaraannya di negara Asia. Namanya pun diabadikan sebagai nama bandara di kota itu.
“Dwi!!!” Seseorang menepuk  pundakku dari belakang. Aku segera menoleh untuk memastikan siapa yang melakukannya.
“Gibran!!” Dengan refleks kami berpelukan. Sudah lama sekali aku tak berjumpa dengan sahabatku itu, sudah sekitar enam tahun. Kuperhatikan  Gibran masih  sama seperti saat SMP dulu, masih setia dengan kaos dan celana selutut yang selalu menjadi andalannya.
“Akhirnya lo sampai juga, Wi. Selamat datang di kota romantis Venesia,” ucap Gibran dengan mata berbinar-binar. Terlalu berlebihan kukira, harusnya aku yang senang ada di kota ini. Puput, aku sudah sangat dekat denganmu.
“Lo nggak banyak berubah Bran,” kataku. Gibran hanya nyengir mendengar komentarku.
“Ayo WI, kita  langsung ke rumahku. Kau pasti sudah sangat lelah.”
Aku disambut dengan sangat hangat ketika  sampai di rumah Gibran. Sebuah rumah mewah bergaya klasik khas Venesia. Papa Mama Gibran ternyata  masih mengingatku, begitu juga  si  kecil Tiara yang sekarang mungkin sudah berusia 13 tahun.
“Padre (papa), nanti saja ngobrolnya. Kasihan, Dwi pasti sangat lelah,” sergah Gibran ketika Om Rubbi mulai bertanya macam-macam tentang Indonesia.
“Ya sudahlah kalau begitu,” desah Om Rubbi pasrah. Aku hanya tersenyum melihat tingkah ayah  dan anak itu. Gibran mengantarku ke sebuah kamar di lantai dua, langsung kurebahkan tubuhku di kasur begitu Gibran meninggalkanku sendirian. Benar juga kata Gibran aku sangat lelah. Otot-ototku terasa kaku setelah berjam-jam duduk di pesawat. Sambil berbaring kusempatkan melihat foto Puput. Semoga jodoh menemui kita Put!
* * *
Mentari bersinar lembut. Kuhirup kuat-kuat udara segar dari jendela kamarku. Gibran sudah merencanakan akan mengajakku berkeliling kota air ini sambil mencari Puput. Kusiapkan foto Puput. Foto tiga tahun lalu itu  menampilkan Puput dengan senyumnya yang menawan. Bagaimana kau sekarang, Put? Apa rambut hitammu itu sudah kau cat pirang seperti gadis-gadis Venesia?
“Gimana Wi, lo udah siap? Cepat turun ke meja makan. Madre (mama) sudah menyiapkan makanan khas Itali,” ajak Gibran.
“Iya Bran, gue udah siap dari tadi.”
Di meja  makan sudah tersedia makanan-makanan yang asing bagiku.
“Itu namanya Risotto, Wi, nasi khas Itali, dan yang itu kau tahu sendirilah, Wi. Dada ayam yang dibakar,” jelas Gibran padaku. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Segera kucicipi makanan di depanku itu.
“Enak, Bran.”
“Tentu aja, Madre (mama) gitu loh!”
Pagi itu juga Gibran membawaku berkeliling kota Venesia, kota yang juga mendapat julukan The Queen of of the Adriatic.
“Bagaimana kalau kita pergi  ke lapangan San Marco dulu. Banyak orang di sana, mungkin ada yang tahu tentang Puput,”  kata Gibran
“Bouno idea (ide bagus), Bran, gue setuju. Semoga kita bisa mendapatkan petunjuk di sana,” kupraktekkan bahasa Itali yang  dua bulan ini kupelajari.
“Ternyata lo bisa bahasa Itali juga, Wi!” Gibran tampak terkejut mendengarku berbicara bahasa Itali.
“Ya, iyalah. Dwi gitu!” kataku bangga, padahal bahasa Italiku masih sangat pas-pasan.
“Sono felice (aku senang), semoga kau bisa menikmati kota ini.”
Untuk sampai ke lapangan San Marco, kami cukup berjalan kaki. Di Venesia ini sangat jarang kita temui kendaraan seperti mobil atau sepeda motor. Sesuai dengan julukan Venesia sebagai kota air, di sini banyak terdapat kanal-kanal. Penduduk menggunakan Gondola dan Vaporetto (bus air) sebagai media transportasi utama. Kunikmati bangunan-bangunan tua yang berjejer rapi sejauh mata memandang. Mulai dari istana, gereja sampai museum-museum bergaya gothic. Sepanjang perjalanan ke lapangan San Marco juga banyak pedagang-pedagang kaki lima yang menjual berbagai jenis souvenir. Mulai dari kalung, topi, kaos ataupun gondola mini. Tapi yang paling terkenal dari Venesia  adalah souvenir gelas kristal mutu tinggi.
Lapangan San Marco sudah sangat ramai ketika kami tiba di sana. Menurut penjelasan Gibran, lapangan ini awalnya dibuat sebagai pusat kegiatan kenegaraan dan keagamaan dan dalam beberapa periode juga menjadi pusat kegiatan komersial. Sekarang ini lapangan dijadikan simbol keindahan sebuah kota. Beberapa orang tampat menikmati keindahan The clock tower  dan berfoto di depannya. Ada juga orang yang memilih duduk-duduk di kafe-kafe yang ada di sekitar lapangan. Beberapa turis tampak bercanda-canda dengan burung dara. Mereka menaburi tubuh mereka dengan makanan burung dan membiarkan burung-burung dara menyerbu tubuh mereka.
Ah!!! Aku tidak boleh terlalu lama terpesona dengan suasana kota  Marco Polo ini karena tujuan pertamaku adalah Puput. Kulihat Gibran sudah mulai bertanya pada seorang laki-laki dengan bahasa Itali sambil menunjukkan foto Puput yang tadi kuberikan. Tampak lelaki itu hanya menggeleng-geleng. Segera ku ikuti apa yang dilakukan sahabatku itu. Berpuluh-puluh orang kutanyai dengan bahasa Italiku yang pas-pasan dan semua hanya menggelengkan kepala. Kenapa susah sekali menemukanmu Put?
* * *
Senja merangkak menggantikan langit biru. Matahari perlahan menuju tempat persinggahannya. Gibran mengajakku ke Porta Venesia, sebuah restoran mewah milik orang Indonesia. Kubah dengan lukisan perkebunan di Venesia tampak menonjol di pintu masuk. Kubiarkan Gibran memilih menu makanan,  aku tidak tahu sama sekali tentang makanan Itali kecuali Pizza tentunya.
“Ok, kami pesan carpoccio, salmone alla griglia dan passion fruit crepes,” pesan Gibran pada seorang pelayan.
“Calma gente (Tenanglah), Wi, memang sulit sekali menemukan Puput. Venesia memang kota kecil, tapi kota ini terlalu besar untuk bisa menemukan seseorang hanya dalam sehari. Besok kita cari Puput lagi. Bila kalian berjodoh, kalian pasti akan bertemu,” ucap Gibran bijak. Mungkin dari tadi Gibran memperhatikan mukaku yang lesu.
“Kau benar, Bran.” Kuletakkan foto Puput yang sedari tadi berada di tanganku.
Seorang wanita datang mengantarkan pesanan kami. Dari wajahnya aku bisa menebak bahwa dia adalah orang Indonesia. Dengan telaten wanita itu meletakkan pesanan kami di atas meja.
“Hmm, permisi Tuan, bukankah ini Nona Puput?” Wanita itu tiba-tiba mengambil foto Puput lalu memandangnya lama.
“Apa kamu mengenalnya, Nona?” tanyaku tak sabar.
“Tentu saja, sebelum saya bekerja di restoran ini, saya bekerja di rumah Nona Puput”
“Benarkah yang kau katakan?” ucapku setengah berteriak.
“Nona, bisakah kau  mengantar kami ke rumah Puput?” tanya Gibran.
“Saya ingin sekali, Tuan, tapi saya masih harus bekerja sampai malam nanti.”
“Kumohon, Nona, antarkan kami menemui Puput sekarang juga,” rajukku dengan nada mengiba.
“Maafkan saya, Tuan, saya tidak bisa. Saya harus menyelesaikan pekerjaan saya.”
“Sekarang juga saya akan memintakan ijin pada manajer anda.” Tanpa menunggu jawaban, Gibran segera beranjak mencari manajer Porta Venesia.
Entah bagaimana cara Gibran meyakinkan, akhirnya manajer itu pun setuju. Wanita bernama Mia itu pun mengantarkan kami ke tempat Puput. Sepanjang perjalanan dengan gondola. Aku hanya diam. Hatiku gelisah. Terselip rasa takut bila nanti Puput menolak menemuiku. Segera kutepis perasaan itu. Put, aku yakin kau masih mencintaiku seperti aku mencintaimu.
Sekitar 10 menit berjalan kaki, Mia berhenti di sebuah rumah besar yang asri dengan taman yang luas.
“Ini rumah Nona Puput, Tuan!” kata Mia sambil memencet bel rumah itu. Seorang wanita setengah baya keluar membuka pintu.
“Tante Rena!” Aku sedikit terkejut, wanita itu adalah mama Puput.
“D..D.. Dwi!” pekik mama Puput. Aku tahu beliau pasti sangat terkejut melihatku ada di kota ini.
“Tante, aku ingin bertemu dengan Puput.”
“Tapi….Puput…..”
“Kumohon, Tante. Saya jauh-jauh datang dari Indonesia hanya untuk menemuinya Tante.”
“Tapi….”
“Tante, ijinkanlah saya bertemu dengan wanita yang saya cintai tante. Saya mohon.” Tante Rena diam untuk beberapa lama.
“Baiklah!” Akhirnya tante Rena luluh. Tapi entah kenapa kulihat air mata merembesi pipinya.
Rumah Puput tak jauh berbeda dengan rumah Gibran. Tetap dengan desain klasik khas Venesia. Aku mengikuti Tante Rena dari belakang, sedangkan Gibran dan Mia memilih menunggu di ruang tamu. Tante Rena berhenti di sebuah ruangan
“Ini kamar Puput” katanya. Aku hanya bisa diam, menahan gejolak yang tak menentu di dadaku.
“ Puput ada yang ingin ketemu.” Tanpa menunggu jawaban, Tante Rena membuka pintu.
Seorang gadis duduk membelakangiku di atas kursi roda. Untuk sesaat aku hanya diam. Aku tak menyangka kecelakaan itu membuat Puput harus duduk di kursi roda.
“Pu.. pu.. Puput!” panggilku pelan. Sangat pelan. Gadis itu diam. Kuas yang ada di tangannya seketika terjatuh.
“Puput ini aku Put.” Aku mengulangi memanggilnya. Gadis itu pun berbalik.
“Dwi!!!!!” Binar-binar terlihat dari matanya lalu kulihat bulir-bulir jatuh dari mata indah itu. Saat itu juga rasanya aku ingin memeluk Puput.
“Dwi apa yang kau lakukan di sini?”
“Apa maksudmu, Put? Aku ke sini untuk menemuimu. Mi macherai (aku merindukanmu).”
“Sudah kubilang dalam surat itu, lupakan saja aku, Dwi” Air mata semakin deras merembesi pipi Puput, membuat hatiku seperti teriris-iris.
“Nggak Put, aku nggak akan pernah bisa melupakanmu. Nggak akan bisa, Put, sampai kapanpun.”
“Sekarang aku nggak pantas untukmu, Wi. Aku hanya seorang gadis cacat. Aku nggak mau menjadi beban dalam hidupmu Wi. Masih banyak wanita lain yang lebih baik dan lebih sempurna dariku. Lupakan aku, Wi.” Mataku basah. Bagaimana bisa Puput bicara seperti itu.
“Smettila didir cazzate, Put. Non essere pirla (Hentikan perkataanmu Put, jangan bodoh). Semua ini salahku, Put. Aku yang membuatmu begini. Aku akan selalu mendampingimu bagaimanapun keadaanmu, Put.”
“Calma gente Wi, stai bene (tenanglah Wi, aku baik-baik saja). Aku nggak mau kau merasa bersalah karena keadaanku ini. Aku juga nggak mau kau mengasihaniku.”
“Nggak Put, aku bukan lelaki seperti itu. Asal kau tahu Put, tiga tahun ini aku selalu mencarimu. Tiga tahun ini kau selalu merindukanmu dan tiga tahun ini juga aku selalu mencintaimu, Put. Menurutmu kenapa aku jauh-jauh pergi ke Venesia? Untuk apa aku ke sini kalau bukan untuk menemuimu. Aku nggak peduli kamu cacat, karena aku akan menjadi kakimu. Aku mencintaimu apa adanya.”
“Tapi aku tidak mencintaimu, Wi,” ucap Puput pelan.
“Kau bohong, Put. Kau bohong! Lukisan itulah buktinya!” Aku menunjuk ke kanvas yang ada di belakang Puput.
“Kenapa kau melukis wajahku jika kau tak mencintaiku. Jawab, Putl! Jawab! Aku tahu dari matamu kalau kau masih mencintaiku.”
“Kau benar, Wi, aku memang mencintaimu. Aku tak pernah bisa melupakanmu, Wi.” Puput semakin keras menangis. Pundaknya bergetar hebat. Aku melangkah mendekat. Kupeluk tubuh Puput untuk menenangkannya. Suasana haru menyelimuti kamar Puput. Akhirnya aku bisa memelukmu lagi Put. Aku janji aku nggak akan pernah meninggalkanmu dan aku akan selalu melindungimu.
“Puput, Ti Amore (Puput, aku selalu mencintaimu)!!”